Tentang Karikatur
Mengupas Segala Hal Tentang Karikatur
Rabu, 04 April 2012
"nunk" HANUNG KUNCORO
(Sumber :http://budisetiyono.blogspot.com)
SEMUA tokohnya berkepala gundul. Ini sudah lama berlangsung, sebelum trend kepala plontos melanda pesepakbola dunia seperti Ronaldo dan Fabien Barthez. Tapi, tokoh sentralnya mudah dikenali. Ia punya dua helai rambut di kepalanya. Namanya: Si Gundul.
Di lapangan, Si Gundul punya satu keistimewaan. Ia bisa berperan sebagai apa saja: kiper, penyerang, wasit, maupun pelatih. Sayangnya, ia tak selalu bisa memanfaatkan keistimewaan itu karena kekurangannya: goblok dan sial. Lihat saja ketika ia jadi penjaga gawang. Terjadi perebutan bola dalam sebuah kemelut di depan gawangnya. Ia berhasil menangkap bola. Tapi, sial, celananya lepas dan jatuh ke tangan penyerang lawan, yang membawa masuk ke gawang. Si Gundul mengejar, ikut masuk gawang, dan … gol.
Memang tak masuk logika sepakbola manapun. Sepakbola ala Si Gundul punya aturan sendiri. Penciptanya bernama Hanung Kuncoro, kartunis tabloid olahraga Bola yang menuliskan nama di kartu penduduknya: Nunk, saja. Sepakbola ala Si Gundul ini terbit tiap minggu di tabloid Bola, milik Kelompok Kompas Gramedia, dengan nama rubrik “Sepakbolaria”.
Nunk sendiri tak berkepala gundul. Rambutnya lebat. Wajahnya juga tak seimut tokoh rekaannya. Ada sedikit kesan sangar dari kumisnya yang lebat –dengan sehelai rambut berwarna putih. Tubuhnya tinggi, kurus, berkulit agak hitam. Matanya agak sayu. Orangnya mahal senyum. Pokoknya jauh dari kesan lucu, apalagi menggemaskan. Jika mengobrol dan ada sesuatu yang lucu dia sering tertawa belakangan.
Jaya Suprana, ketua Perhimpunan Pencinta Humor, sempat kaget juga ketika bertatap muka dengannya. “Orangnya sederhana, dan sosoknya tidak menampilkan kejenakaan. Kalau saya kan orang melihat saja sudah ketawa. Tapi, justru itulah kelucuan dia,” ujarnya.
Sosok seseorang memang tak bisa jadi ukuran kelucuan karyanya. Faktanya, Sepakbolaria bisa bikin orang tersenyum, tanpa harus mati karena ketawa.
“Senyum!” teriak Si Gundul sembari berkacak pinggang dan pasang muka cemberut. Sebagai pelatih, dia gemas karena para pemainnya tak juga tersenyum ketika dua fotografer hendak mengambil gambar.
“Senyum!”
Belum juga ada yang tersenyum.
Sang fotografer tak kurang akal. Dia menghampiri Si Gundul, dan memelorotkan celananya. Kontan para pemain tertawa, dan dua fotografer itu pun bisa mengambil gambar. Klik, klik, klik.
Begitulah salah satu kesialan Si Gundul. Nunk sengaja memilih tokoh yang bisa membuat orang gemas. Jadi da memilih karakter anak di bawah lima tahun (balita).
Nunk punya alasan. Bukan semata-mata karena anak balita pasti menggemaskan dan lagi lucu-lucunya. Mereka juga tanpa dosa. Buka celana atau bugil sekalipun tak akan menimbulkan kesan jorok. Nunk mengaku belajar dari maskot-maskot olahraga, yang kebanyakan mengambil tokoh anak-anak –meski seringkali berbentuk binatang. Kekuatannya terletak pada karakter yang menggemaskan.
“Sekilas Si Gundul mirip Anda?” tanya saya dalam satu dari dua sesi wawancara dengannya Oktober lalu.
“Wou, sangat tidak mirip,” ujar Nunk, terbahak.
“Banyak kartunis yang tokohnya mirip dengan dirinya. Kalau saya… ini kan sangat tidak notunis. Misalnya (Si Gundul) tidak punya telinga, trus bentuknya abstrak. Kalau dijadikan boneka, susah, karena matanya di samping kayak wayang. Tapi nggak masalah. Saya punya banyak contoh maskot olahraga.”
HANUNG Kuncoro mengenal kartun secara otodidak. Sedari kecil dia suka melihat kartun di majalah-majalah yang dilanggan orangtuanya, Soeroso Hadiwidjojo dan Sumiyatun. Dia mulai menggambar kartun sejak SMP untuk majalah dinding sekolahnya.
“Saya punya banyak ide lucu tapi nggak bisa mengungkapkan dengan kata-kata dan tingkah laku. Saya sangat pendiam dari sononya. Salah satu jalan mengekspresikannya ya dengan kartun,” ujarnya.
Baru ketika duduk di kelas satu SMA pada 1977, dia mulai berani mengirimkan kartun-kartunya ke Krida, majalah terbitan Korps Pegawai Negeri Jawa Tengah di Semarang. Kartunnya dimuat. Dia senang ketika mendapat honor dan nomor bukti pemuatan. Sejak itu dia mulai aktif menggambar kartun.
Selepas SMA, dia ikut ujian saringan masuk perguruan tinggi. Pilihan pertamanya arsitektur. Dia gagal. Justru pilihan keduanya yang berhasil. Dia diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang. Karena desakan orangtuanya, dia kuliah, meski ogah-ogahan.
Nunk masih menggambar kartun dan mengirimkannya ke media-media seperti Gadis, Suara Pembaruan, dan Suara Karya. Dia juga menjadi anggota Semarang Cartoonist Club, meski tak aktif. Sesekali dia ikut pameran atau lomba kartun. Di sinilah dia mulai mengenal karya Deliege, komikus Belgia, yang amat mempengaruhinya.
“Judul komiknya Si Bob Napi Badung. Ia nggak selaku Asterix, Tintin, atau Lucky Luke. Gambarnya juga gak begitu bagus, sederhana, tapi kuat di ide dan ekspresif sekali. Karakternya kuat. Humornya juga tak kalah sama Tintin,” ujarnya.
Komik Si Bob Napi Badung berkisah tentang seorang narapidana di penjara Inzepocket. Dengan berbagai cara, dia berusaha melarikan diri. Asistennya, Kees, membantu pelariannya, yang sayangnya justru selalu mengacaukan rencananya. Di Belanda, serial ini bernama Jaap, sedangkan di Prancis, Bobo.
Lulus kuliah, Nunk ingin bekerja di media. Pada masa menganggur dia membaca Bola, saat itu masih sisipan harian Kompas sejak 1984 yang dilanggan orangtuanya. Penggemar sepakbola ini berpikir bagaimana agar kartunnya bisa menghiasi Bola. Dia ingin kartunnya muncul secara berkala seperti kartun strip Panji Koming atau Konpopilan di Kompas dan Pak Bei di Suara Merdeka.
“Kayaknya kalau kartun strip olahraga belum ada nih. Kalau olahraga otomatis sepakbola. Pasti. Itu olahraga paling populer,” pikirnya.
Nunk menuangkan ide-idenya. Semuanya berjumlah 20 gambar. Dia memberi nama untuk kartun stripnya: Sepakbola Lalala, yang menurutnya bagus dan bersajak. Dia mengirimkannya ke Bola.
Sepakbola Lalala menarik perhatian Clements Stefanus, yang jadi penjaga gawang artistik Bola. Sudah lama, Bola ingin punya maskot sendiri seperti Om Pasikom di Kompas. Dan coretan-coretan Nunk dianggap bisa mewujudkan keinginan itu. Stefanus membicarakan karya Nunk dengan Ignatius Sunito, pemimpin umum Bola.
“Mas, ini kayaknya bisa dibuat seperti Om Pasikom yang Mas Nito inginkan. Ini calom saya,” ujarnya.
Bersamaan dengan pemuatan kartunnya, Nunk hendak berangkat ke Jakarta. Seorang teman memberi tahu adanya lowongan kerja di Perusahaan Gas Negara di Jakarta. Karena desakan orangtuanya, Nunk melamar dan mendapat panggilan untuk tes. Di atas kereta, iseng-iseng dia membeli Kompas. Dia terkejut ketika melihat gambarnya dimuat di Bola pada 17 Juni 1988. Dia girang bukan kepalang.
Nunk tak lulus tes kerja di Perusahaan Gas Negara. Tapi dia tetap tinggal di Jakarta selama dua bulan, menginap di rumah temannya, Tohir Nur Ilhami, di Tanjung Duren. Sementara kartun stripnya, Sepakbola Lalala, dimuat secara tetap sampai Agustus 1988.
Pada suatu waktu, Nunk datang ke kantor redaksi Bola. Clements Stefanus menawarinya pekerjaan di bagian artistik. Nunk kaget. Ragu. Meski bekerja di media menjadi keinginan lamanya, dia merasa belum siap dan ingin bikin banyak karya dulu. Tapi ini kesempatan bagus. Setelah menimbang, dia menyatakan bersedia.
Justru Ignatius Sunito yang menolaknya. Bola masih berupa sisipan Kompas, dan Sunito tak berani merekrut tenaga baru.
“Saya belum bisa menerima Anda, apalagi background Anda ekonomi. Saya masih ragu,” ujarnya.
Sunito ingin Nunk bekerja di bagian pemasaran. Soal hobi berkartun, Sunito menawarkan dispensasi. Nunk menolak. Dia takut kerjanya jadi tak maksimal. Dia juga sudah memilih kartun sebagai pilihan hidupnya.
Sebulan kemudian Nunk mendapat panggilan lagi dari Bola. Kali ini dia diterima sebagai karyawan. Dia mendapat jatah tetap menggambar Sepakbola Lalala, yang setelah vakum sebulan berubah nama menjadi Sepakbolaria. Tokoh Si Gundul terus disempurnakan. Ketika Sepakbola Lalala bentuknya masih sederhana dengan coretan dan ekspresi yang masih lemah, bahasa tubuh maupun geraknya.
Nunk juga mempelajari karya-karya luar seperti Walt Disney. Dia ingin tahu letak kekuatannya. “Ternyata kekuatannya, selain ide, bagaimana mengekspresikan mimiknya,” ujarnya.
Perlahan Si Gundul mulai menemukan bentuk. Nunk menciptakan sekitar duapuluhan karakter Si Gundul. Dia juga membuat Si Gundul dalam berbagai posisi: berdiri, menendang bola, dan sebagainya. Perubahan juga dilakukan pada aksesoris. Nunk pernah memberi rambut pada semua tokohnya. Kini, semua tokohnya gundul, kecuali tokoh utamanya, yang punya dua helai rambut di kepala.
Teman-temannya di redaksi bertanya: “Namanya siapa?” Nunk sadar, tokoh utamanya harus punya nama. Kemudian disepakati namanya: Si Gundul.
“Gambarnya sudah mantap karena lama sekali menjadi ciri khas Bola. Karakter tokohnya menarik karena semua nyaris rata, kayak kokim Smurf. Jadi bisa lincah bikin set para pemainnya,” ujar Priyanto Sunarto, kartunis majalah Tempo.
Smurf adalah serial komik karya Pierre Culliford –dikenal sebagai Peyo– yang muncul kali pertama pada 1958. Serial komik ini mengisahkan suka-duka kehidupan sekelompok makhluk mini berwarna biru yang tinggal di sebuah desa kecil di tengah hutan, dengan seluruh bangunannya berbentuk jamur. Belakangan, komik ini menjadi alat propaganda komunis selama perang ideologi melawan kapitalisme Amerika.
Si Gundul jadi maskot Bola. Kartun opini dan semua ilustrasi juga memakai tokoh Si Gundul. Pada 1992, hak paten maskot Si Gundul didaftarkan ke Departemen Kehakiman atas nama tabloid Bola. Juga logo Bola –dengan alasan, banyak aksesoris olahraga meniru logo ini.
Nunk tak tahu-menahu. Dia pernah dipanggil Sunito untuk menandatangani formulir pengajuan hak paten. Nunk tak membaca isinya; langsung tanda tangan. “Saya gak mempermasalahkannya, eh tahu-tahu untuk Bola,” ujarnya.
NUNK memasuki toko olahraga Bola di kompleks Kelompok Kompas Gramedia di Palmerah Selatan. Toko ini berdiri pada 1988, berbarengan dengan lepasnya Bola sebagai sisipan Kompas. Di sini tersedia beragam perlengkapan olahraga, terutama sepakbola, beserta pernah-perniknya.
Dia menghampiri rak plastik kecil di atas meja yang memajang buku Sepakbolaria 3.
“Sepakbolaria jilid 1 dan 2 masih ada?”
“Sudah habis. Kita nggak punya stok,” ujar penjaga toko.
Nunk merasa puas. Dia lalu mengamati pernik-pernik olahraga, seperti bola, topi, poster, stiker, dan sebagainya, di dalam meja. Umumnya melekat logo Bola dan maskotnya, Si Gundul. Di dekatnya terdapat kotak plastik tembus pandang yang berisi boneka Si Gundul menenteng bola.
“Nggak beli bonekanya sekalian?”
“Nggak,” ujar saya.
Saya hanya mau membeli buku Sepakbolaria 3. Harganya murah, Rp 8.000. Sepakbolaria 3 diterbitkan Elex Media Komputindo. Dua jilid sebelumnya diterbitkan secara berbarengan pada Juli 1992, dan sudah empat kali cetak ulang.
“Kalau dijadikan buku, Sepakbolaria mungkin sudah sampai tujuh jilid. Saya masih punya beberapa ratus yang belum dibukukan. Dari 1990 sampai sekarang sudah ada sekitar 600 karya,” ujarnya.
Bagaimana Nunk bisa bertahan 12 tahun lamanya hanya dengan satu tema: sepakbola?
“Itulah yang saya kagumi. Dia konsisten, bertahan, mengkhususkan diri hanya pada sepakbola. Dan mungkin Sepakbolaria tetap ada selama sepakbola masih ada,” ujar Jaya Suprana.
Nunk suka menonton bola. Dia tak hanya melihat permainannya, tapi juga ulah penonton. Akhir-akhir ini saja dia mulai jarang menonton, kecuali partai-partai menarik serta babak semifinal dan final.
“Yang jelas, saya suka sepakbola Indonesia karena banyak adegan yang kadang di luar dugaan. Misalnya begini. Ada pemain cidera, terus bagian kesehatan masuk, membawa tandu. Nah, mereka mengambilnya terbalik, berhadap-hadapan, jadi mau jalan kan susah. Itu ide, itu rezeki, nggak perlu cari,” ujarnya.
Tapi Sepakbolaria hadir bukan untuk memberi petuah atau melontarkan kritik mengenai persepakbolaan Indonesia. Paling banter, menyentil. Isinya pun tak selalu aktual dan faktual. Kalau pun ada, Nunuk memelesetkannya. Seperti ketika menara kembar World Trade Center ditabrak pesawat pembajak pada September 2001. Televisi CNN menayangkan tragedi itu dengan teks di bawahnya: “America Under Attack”. Kebetulan, beberapa hari kemudian, kesebelasan Indonesia dipermalukan tim lemah Myanmar dengan skor 0:1 dalam perebutan medali perunggu Sea Games XXI di Kuala Lumpur. Nunk menggambarkannya: Si Gundul menonton siaran itu di televisi yang memasang teks “Indonesia Under Attack”.
Nunk kadang kewalahan mencari ide orisinal. Biasanya dia menyiasatinya dengan mendaur-ulang ide-ide sebelumnya. Pengembangan ini tak selamanya berhasil. Ada yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan dari gambar sebelumnya. Nunk kurang jeli.
“Itu sih wajar. Karya-karya Shakespeare ada duplikasinya. Dia kan manusia biasa. John Sebastian Bach, banyak juga karya-karyanya yang diulang-ulang. Picasso juga. Itu sisi lain dari kekurangan manusia,” ujar Jaya Suprana.
Untuk menghindari duplikasi, Nunk meluaskan idenya. Keberadaan di Gundul kini tak melulu di lapangan bola. Kadang di rumah, di perjalanan,… di mana saja. “Yang pasti ide itu makin lama makin kering,” ujar Nunk.
“Susah memang mencari ide dengan tema sama terus. Kadang membosankan atau stereotip, atau dibuat-buat. Kadang terpaksa bermain d zona saru. Mas Hanung merasakan penderitaan itu. Tapi kadang juga segar dan lucu atau aneh,” ujar Priyanto Sunarto, yang juga mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung dan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.
Persoalan lainnya, Sepakbolaria lebih menonjolkan banyolan fisik atau slapstick. Tokohnya selalu sial. Artinya, Sepakbolaria belum beranjak dari masalah klasik kartun-kartun Indonesia.
“Dia mungkin merasa puas dengan model begitu, sehingga tak beranjak dari situ. Gag cartoon kan seperti mie instan, cepat saji. Mungkin kebiasaan waktu melajang, bikin gambar untuk kejar setoran,” ujar Pramono R. Pramoedja, wakil pemimpin redaksi Sinar Harapan dan ketua Persatuan Kartunis Indonesia, tertawa.
Syahrinur Prinka dari majalah Tempo tak melihat kesan slapstick dalam kartun Nunk. Menurutnya, hampir semua kartunis pernah terkena gag cartoon, termasuk dirinya. “Kalau saya, berpikir mengenai keunikan dia: hanya sepakbola. Yang terpenting bagi semua karya kan kita punya ciri khas. Dia termasuk kartunis yang punya ciri khas dengan gambarnya,” ujarnya.
Salah satu banyolan Nunk adalah memunculkan simbol “burung” untuk menggantikan alat kelamin laki-laki. Dan ini pernah ditanyakan Aom Kusman, tokoh kelompok lawak Kabayan yang menggemari Sepakbolaria. “Kenapa seringkali melibatkan peranan manuk,” tanyanya seperti dikutip dari kata pengantar buku Sepakbolaria.
Dalam Sepakbolaria 2, peranan manuk (burung) ini dikumpulkan dalam satu tema: helm. Salah satunya seperti ini. Si Gundul pakai helm untuk melindungi kepalanya dari lemparan penonton. Penyerang lawan menendang bola dengan keras dan mengenai kemaluannya. Si Gundul menarik celanannya ke depan, memeriksa alat kelaminnya –dalam gambar, muncul simbol burung terkapar. Agar tak terulang lagi, Si Gundul melepas helmnya dan mengenakannya di bagian kemaluannya.
Nunk mengatakan tak punya niat berjorok-ria ketika menggunakan simbol burung. Burung, menurutnya, lebih aman ketimbang simbol "pisang ambon" atau "peluru kendali". “Saya pernah lihat juga di kartun luar, menggambarkan alat vital laki-laki dengan burung. Ternyata nggak cuma di Indonesia,” ujarnya.
Penggemar Sepakbolaria bukan hanya Aom Kusman. Kurniawan Dwi Julianto, pemain sepakbola nasional, membeli Sepakbolaria. “Bagus. Suka. Kartunnya gampang dimengerti,” ujarnya. Angket Bola, yang selalu menempatkan Sepakbolaria di tiga besar, juga menunjukkan kepopulerannya.
Sepakbolaria juga dinikmati orang luar. Sepakbolaria jilid 1 dan 2 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anuar Othman dan diterbitkan Asiapac Books Singapore dengan judul Soccer Joy. Dan yang mengagetkan, Sepakbolaria sempat muncul di AFC Magazine, majalah internal milik Asian Football Confederation (AFC) atau Persatuan Sepakbola Asia yang bermarkas di Hongkong pada 1993. Pemuatan itu tanpa sepengetahuan dan seizin Nunk. Nunk kaget ketika melihat kartunnya dimuat di media itu tiga kali berturut-turut –redaksi Bola berlangganan majalah itu. Elex Media Komputindo, penerbit bukunya, juga tak tahu-menahu. Nunk segera melayangkan surat protes ke AFC Magazine. Pemuatan itu ternyata hanya seizin Asiapac Books Singapore. Setelah itu, pemuatan kartun stripnya pun dihentikan.
“Saya punya obsesi go international. Mungkin ke depan saya akan mencoba menembus sindikasi kartun internasional. (Kartunis) Indonesia belum ada,” ujarnya.
SORE itu teras kantor redaksi Bola masih ramai. Beberapa anggota redaksi duduk-duduk dan makan-makan sembari mengobrol. Mereka baru selesai rapat redaksi setelah merampungkan Bola edisi Selasa.
Sejak 1995, Bola terbit dua kali dalam sepekan. Edisi Selasa mengulas olahraga secara umum, sementara edisi Jumat hanya sepakbola. Sejak itu pula pekerjaan Nunk bertambah. Selain Sepakbolaria, dia harus membuat Si Gundul, kartun strip yang bertema olahraga secara umum –dari judulnya, sudah terlihat tokohnya ya Si Gundul.
“Kalau saya bikin sepakbola saja, terus bagaimana cabang olahraga lain. Masak saya nggak ngasih ruang untuk mengekspresikan karya dalam kartun strip dengan tema selain sepakbola,” ujarnya.
Untuk membuatnya, Nunk sesekali membuka ensiklopedia olahraga. Dia harus tahu bentuk lapangan atau atribut-atribut dari cabang olahraga yang mau dia gambar.
Seringkali Si Gundul hanya berisi kelucuan-kelucuan yang bisa digali dari cabang olahraga tertentu. Tapi Nunk juga mengabadikan kejadian politik dengan plesetan gaya Si Gundul. Misalnya ketika Jakarta digoncang kerusuhan Mei 1988. Pembakaran gedung terjadi di mana-mana. Petugas pemadam kebakaran kelabakan. Si Gundul terbengong di kolam renang. Air kolam terkuras habis untuk menyiram gedung-gedung yang terbakar.
Selain Si Gundul, Nunk juga menggambar kartun opini dua kali sepekan di halaman dua. Temanya aktual, dan lepas dari kebijakan editorial redaksi. Karenanya Nunk mesti rajin membaca koran. Jarang sekali dia membaca liputan teman-temannya –berita terhangat sudah dilahap habis oleh media harian. Sesekali dia membuat berdasarkan surat pembaca yang masuk.
“Biasanya saya mencari tema sendiri. Kalau sudah mentok, mencari sendiri nggak ada, baru nanya, ‘Ini isu yang lagi hangat soal apa?’ Nanya sama redaktur pelaksana,” ujarnya.
Sebenarnya Nunk bisa menggunakan halaman ini untuk melepaskan diri dari tokoh Si Gundul. Sayangnya, dia belum berani mengeksplorasi diri. Karakternya masih sama dengan kartun stripnya. Tokohnya masih Si Gundul. Untuk memperjelas sasaran kritiknya, dia hanya menuliskan labelnya, katakanlah Wismoyo Arismunandar atau ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia di dada, di meja, atau di kursinya. “Saya memang lemah bikin karikatur,” ujarnya.
Tapi kritik Nunk dalam kartun opininya lugas. Bukankah kebobrokan juga melanda dunia olahraga kita? Nunk menyentil kasus pemakaian obat bius di kalangan atlet, amburadulnya tinju profesional, kekalahan tim pencak silat Indonesia dalam kejuaraan silat Asia-Pasifik, hingga Bob Hasan, penghuni penjara Nusakambangan yang masih menjabat sebagai ketua umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia.
Ada kalanya kartun opinnya biasa-biasa saja. Mungkin tak ada masalah yang hangat. Meski demikian, kartunnya tetap mengundang senyum. Misalnya gambar pertarungan antara Mike Tyson dan Andrew Golota. Tyson pernah menggigit telinga lawan mainnya, Evander Holyfield. Golota dikenal suka memukul bagian kemaluan lawan. Di atas ring, sebelah tangan Tyson menutup daerah kemaluannya, sementara sebelah tangan Golota menutup sebelah telinganya.
“Kalau kartun opini lebih berat. Saya harus menguras energi. Saya bisa ke sana-ke mari mencari ide. Kalau pas lagi banyak kasus sih enak. Tapi kalau lagi sepi, tidak ada event, wah pusing. Kalau Sepakbolaria, saya masih enjoy,” ujarnya.
“Tujuan saya bikin kartun nomor satu itu menghibur. Itu saja deh. Saya nggak ingin muluk-muluk. Mencerdaskan atau mengkritik pun dengan cara saya. Saya usahakan, dengan kartun opini, yang dikritik tertawa, jangan sampai marah,” ujarnya.*
JITET KOESTANA
(sumber: kartunmartono.wordpress.com)
Jika akhir-akhir ini Anda memperhatikan halaman KOMPAS, akan terasa ada sesuatu yang baru yaitu kartun dan ilustrasi yang lebih segar yang dibuat oleh Jitet Koestana. Setahu saya, Jitet memang baru di KOMPAS. Sebelum pindah ke KOMPAS, Mas Jitet adalah ilustrator di Tabloid SENIOR, anak usaha Kelompok KOMPAS Gramedia juga seperti halnya KOMPAS.
Saya suka sekali dengan gaya Mas Jitet ini dalam menggambar. Karakter ciptaannya sungguh bagus. Lihatlah SENORI, tokoh rekaannya yang terbit di Tabloid SENIOR. Si SENORI ini tampil seperti layaknya manusia biasa, natural. Komposisi ukuran bagian tubuh SENORI ini juga sama dengan manusia sesungguhnya. Ini berbeda dengan karakter rekaan kartunis lain yang kadang melebih-lebihkan ukuran tubuh manusia, ada yang kepalanya sangat besar, perutnya super buncit atau mulutnya super panjang. Mas Jitet memang beda. Ini yang membuat ilustrasi Mas Jitet enak dipandang. Belum lagi kalau ilutrasi itu dibuat berwarna. Sapuan warnanya juga mantap.
Memang, Jitet bukan orang baru di dunia kartun Indonesia. Puluhan kali dia menerima penghargaan internasional. Menurut Suara Merdeka, nama lelaki kelahiran 4 Januari 1967 tersebut pada 1998 tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai peraih penghargaan internasional terbanyak, yakni 36 buah. Saat ini angka itu telah bertambah menjadi 46 (atau sudah bertambah lagi, mungkin?). Beberapa penghargaan yang prestisius antara lain Grand Prize Seoul International Cartoon Festival’’ (1997), ‘’Cordoba International Cartoon Festival (2000), dan yang terbaru Grand Prize ‘’Syria International Cartoon Contest‘’ (April 2005).
Ada yang sama antara Mas Jitet dengan kartunis-kartunis lain seperti A Loekis Haryadi (Seputar Semarang), Leak Koestiya (Jawa Pos), Hanung Kuncoro (TabloidBola), Prie GS (Suara Merdeka), Ramli (Bintang Milenia), dan Erianto Sulistyawan? Mereka semua adalah “lulusan” SECAC atau Semarang Cartoonist Club.
JOHNY HIDAYAT
(Sumber :www.jakarta.go.id
Karikaturis, yang tokohnya Johni menjadi salah satu ikon di Jakarta pada masa lalu. Nama aslinya adalah Arifin Hidayat, lahir di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, 8 Agustus 1942. Mulai pindah ke Jakarta tahun 1964, dan sempat luntang-lantung. Pada mulanya bermimpi menjadi penyanyi seperti Zaenal Combo, dengan berbekal pernah menang dalam lomba menyanyi tingkat kabupaten. Untuk bertahan hidup, ia bekerja sebagai juru gambar di perusahaan mebel di kawasan mebel. Saat itulah muncul nama tambahan Johnny karena dia suka menyanyikan lagu Johnny Guitar. Nama itu awalnya digunakan untuk membedakan jati dirinya dengan dua penyandang nama Hidayat lain yang bekerja sebagai sopir dan tukang pelitur di perusahaan mebel itu. Kebetulan bisnis kartun pada tahun 1969 sedang meriah, dan sejak saat itulah membuat lukisan kartun personal dengan tokoh sesuai pesanan. Oleh pemesan, kartun Johnny biasanya dibuat sebagai kado bagi seseorang, termasuk untuk artis, bos perusahaan, pejabat sampai presiden.
Ia produktif sebagai kartunis lepas pada era 1970-an. Pada masa itu Johnny dalam sehari membuat sekitar 60-an kartun untuk berbagai media massa. Tak kurang dari 10 harian dan 20 majalah sering memuat kartun Johnny, seperti majalah Stop, Detektif & Romantika, Senang, Selecta, Varia, Ultra, kemudian koran Berita Buana, Waspada, dan Analisa. Sampai hari ini kartun Johnny masih muncul di harian Pos Kota. Tokoh kartun Johnny dicirikan dengan lelaki botak berhidung panjang yang mengingatkan kita pada hidung petruk, punakawan dalam pewayangan. Dia suka mengenakan jas dengan dasi kupu-kupu. Di saat lain, tokoh Johnny mengenakan kaos motif garis-garis horisontal. Tokoh Johnny dikenal penuh akal, agak nakal, atau istilah yang empunya Johnny itu menangan, tidak mau kalah.
PRAMONO R PRAMOEDJO
(Sumber :kartunindonesia.blogspot.com)
Begitu banyak orang menulis tentang Pramono. Baik ia sebagai karikaturis (political cartoonist), pelukis wajah “lucu” (caricaturist), maupun sebagai individu. Koran, majalah, buku, website, TV, telah berkali-kali menyiarkannya. Ada yang mengulas secara selintas pandang, namun tak kurang pula yang mengupas secara runtut, lengkap dan mendalam.
Agar tidak bingung dengan sebutan apakah dia seorang political cartoonist (di Indonesia telah salah kaprah disebut sebagai karikaturis) atau caricaturist (di dalam konteks sosio-budaya aslinya diartikan sebagai pelukis atau penggambar wajah lucu atau plethat-plethot) dan sebagainya; selanjutnya, kita sebut saja Pramono sebagai kartunis atau pekartun. Istilah ini lebih fleksibel untuk sosok Pramono yang selain andal sebagai kreator kartun opini dan kartun editorial, penggambar wajah lucu, juga sebagai ilustrator bergaya kartunal.
Dari seluruh perjalanan kreatif Pramono (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Desember 1942; Bergabung dengan Harian Sinar Harapan tahun 1967), ada benang merah yang konsisten dan menonjol dari kredo kartunis ini, kesantunan dan kehalusan kritiknya. Orang Jawa menyebut pilihan humornya itu bergaya Guyon Parikena. Nakal dan mencubit memang, namun tetap dalam koridor tata nilai budaya yang melekat secara built in dalam dirinya, yaitu budaya Jawa. Tidak meledak-ledak, tidak insinuatif dan provokatif, tidak juga asal hantam kromo sehingga terjebak dalam justifikasi yang membuat sebuah karya kartun larut menjadi poster dan kehilangan kontemplasinya. Karena itulah, pendekatan paling sering dilakukan Pramono dalam menyikapi berbagai fenomena yang menonjol dalam masyakarat maupun negara senantiasa bermain dalam lambang dan simbol. Dia memperlakukan simbol layaknya seorang penyair meremas dan mengeksplorasi kata. Menyelam dalam kedalaman makna lalu mengantarkan dan menyajikannya lagi dalam diskursus yang baru. Itulah kenakalan dan keusilannya, sekaligus ajakan kepada pembaca/penikmat karyanya untuk berani merenung dan berpikir!
Pilihan Pramono bukannya tak menuai risiko dan konsekuensi. Bagi pembaca atau penikmat yang sangat awam dengan lambang dan simbol, bisa saja mereka keponthal-ponthal (kerepotan) memahami makna dari karya-karyanya; meskipun dalam banyak kasus, kita melihat Pramono cukup arif mempertimbangkan risiko-risiko itu dengan memilih lambang atau simbol yang notabene telah popular atau dipahami oleh pembaca heterogen.
Dua arus besar yang menonjol sebagai pilihan seorang kartunis dalam menyajikan karyanya dapat ditandai dalam versi Eropa (Barat) dan Asia (Timur). Versi umum karya kartun ala Eropa cenderung berupaya menyembunyikan serapat-rapatnya kunci titik ledak (surprised ending) sehingga pembaca (yang notabene educated people) merasa tertantang dan dilibatkan dalam proses penemuan gagasan/kelucuan yang ditawarkan si kreator. Versi Asia, justru sebaliknya. Masyarakat Asia umumnya kurang menyukai karya-karya kartun yang sulit dimengerti. Apakah ini mencerminkan indikasi kemalasan atau ketakpedulian atau belum meratanya sikap keterpelajaran mereka, tentu perlu adanya penelitian untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga tidak aneh bila di beberapa negara di Asia (Indonesia?), kita sering menyaksikan gambar kartun opini yang si kartunisnya perlu memberi keterangan: misal gambar buah apel, rumah sakit, penjara dan sebagainya perlu diberi tulisan yang menjelaskan gambar-gambar tersebut. Tak terkecuali bila itu menyangkut gambar-gambar tokoh tertentu.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang mengenal karya kartun dari animasi (untuk anak-anak), kartun opini (political/editorial cartoon), kartun lelucon (gag cartoon), ilustrasi kartunal (info grafis, buku komik, dll), kartun strip, gambar wajah lucu, dan aneka macam kartun hias. Berbeda dari semua karya kartun yang ada, kartun opini memerlukan persyaratan khusus bagi pembaca untuk dapat menikmatinya secara total dan paripurna; yaitu pembaca atau penikmat harus memiliki referensi yang memadai. Up to date! Mengapa demikian? Karena kartun opini merupakan respon atau tanggapan kartunis terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang menonjol (in) di masyarakat. Bila pembaca ketinggalan isyu-isyu aktual (hangat) yang muncul silih berganti, besar kemungkinan akan terjadi gagal komunikasi antara kartun opini dan penikmatnya. Pada akhirnya, untuk dapat menjadi penikmat atau pembaca kartun opini yang berhasil, tak ada jalan lain kecuali pembaca perlu rajin mengikuti isyu-isyu aktual yang muncul di masyarakat.
Ada pertanyaan, mengapa anak-anak dapat tertawa untuk hal-hal yang orang dewasa sendiri menganggapnya tidak lucu? Berikut penjelasan Dr. Madan Kataria, dokter/psikiater asal India penulis buku Laugh For No Reason, “Anak-anak bisa tertawa tanpa sebab karena otaknya belum mengerti tentang logika, tapi orang dewasa tertawa jika menurut logikanya ada yang lucu. Jadi jika tidak ada logikanya, ia tidak tertawa.”
Kembali ke kartunis Pramono. Bertemu dengan kartunis yang kalem dan banyak senyum ini (15-Juni-2011) di Salatiga, Jawa Tengah, makin terlihat titik pijakan filosofinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ia makin sumeleh (mensyukuri apa yang ada) dan bersahaja. Dari keadaan itulah makin terpancar atmosfer kependekarannya. Bahkan, dari magnet dan karisma pribadinya yang khas itu, tanpa sengaja ia merupakan inspirator bagi lingkungan dan beberapa komunitas anak muda, bukan saja para pecinta kartun dan humor, tetapi juga anak-anak muda pecinta lingkungan hidup.
Pramono bukan saja menggetarkan sebagai kartunis, ia juga seorang bapak, guru, dan teman ngobrol yang sangat mengasyikkan.
Suatu hari, ketika mengantar jalan-jalan ke pasar tradisional seorang teman yang datang dari Jakarta, tiba-tiba dari kerumunan pengunjung pasar ada seorang nenek yang menyapa Pramono dari kejauhan. Si kawan Jakarta kaget. “Ternyata di pasar pun Anda populer, Mas Pram!”
Pramono hanya ketawa, lalu nyeletuk, “Saya memang sedang belajar menjadi orang desa!”
Darminto M Sudarmo
Penikmat/pengamat humor. Tulisan ini merupakan
pengantar untuk katalog pameran
Sabtu, 31 Maret 2012
Dwi Koen (Panji Koming)
Gambar oleh Yoyok Kartun)
(Sumber : kompasiana.com)
Dwi Koen—kadang Pak DeKa—bernama lengkap Dwi Koendoro Brotoatmodjo lahir 13 Mei 1941 di Banjar (Jawa Barat). Dalam garis darahnya, Dwi Koen masih keturunan RM. Ronggowarsito (1802-1873) yang terkenal dengan syair Zaman Edan yang meramalkan apa yang terjadi di negeri ini di masa mendatang (maksudnya sekarang, dan edan banyak benarnya). Dwi Koen sendiri menganggap leluhurnya itu sosok orang jenius yang gila (komentar saya: kan antara jenius dan gila itu beda tipis, lihat saja gaya rambut Einstein yang tampak edan itu) dan ia bangga sebagai keturunannya.
“Walaupun cuma kebagian gilanya,” tulisnya satu kali.
Dan mungkin tak bercanda Dwi Koen mengakui kegilaannya atawa keedanannya itu. Lihat saja, ketika banyak orang yang ramai-ramai menyembah kekuasaan Orde Baru dengan tokoh sentral Soeharto, Dwi Koen—dan segelintir orang lain—termasuk yang mengkritiknya. Tak bisa dengan frontal—yang kadang memang akan dilawan dengan kekuatan-kekuatan bersenjata—Dwi Koen mengkritik dengan kartun—yang memang menjadi keahliannya. Dan Panji Koming, sosok—sebagai digambarkan Tempo—lugu, polos, tapi cerdik adalah sarana Dwi Koen menyampaikan kritikan-kritikannya.
Panji Koming dalam catatan wikipedia.org pertama kali diperkenalkan di Kompas Minggu 14 Oktober 1979. Panji Koming konon menyingkat nama “KOMpas MINGgu”, tapi pun begitu koming juga berarti “bingung” atau bahkan “gila”—mungkin pengejewantahan sosok Dwi Koen yang memang mengaku gila itu, sebagai keturunan RM. Ronggowarsito. Setting komik ini adalah masa Maja Pahit. Namun apa yang terjadi di negeri itu—dalam gambaran komik ini—tak lain apa-apa yang terjadi sekarang di Indonesia—pada saat komik itu digambar.
Sosok-sosok lain yang hadir dalam kartun Panji Koming adalah Pailul, sahabat Panji Koming yang konyol tapi (kadang) cerdas, Dyah Gembili (pacar Pailul), Nini Wor Ciblon (pacar Panji Koming)—apa mereka belum menikah dari dulu?—dan Mbah, sosok orang tua bijaksana.
Satu kali misalnya (saya menggunakan bahan dari buku Panji Koming kumpulan 85-85) dalam komik tertanggal 6 Januari 1985, Panji Koming berbicang-bincang dengan Pailul, karib Koming, yang sedang asyik meniup terompet tahun baru.
“Kita memasuki tahun sulit lho, Pailul!”
Pailul tak bereaksi. Panji Koming melanjutkan obrolannya.
“Tahun yang …”
“Pret…pret..pret…!” Pailul meniup terompet.
“Tahun yang berat dan prihatin!” kata Panji Koming sambil menutup telinga—bising dengan terompet Pailul.
“Thett…thuweettt….!” Pailul terus meniup.
“Jangan masa bodo!” hardik Panji Koming—tampak tak senang.
“Siapa bilang aku masa bodo! … Sulit, berat, prihatin kan sudah apalan… tiap tahun kita rasakan!”
“Tapi kayaknya tahun ini bakal LEBIH BERAT!”
“Bagus! Berarti ada peningkatan” jawab Pailul dengan muka culun, dilanjutkan dengan tiupan terompetnya, “Theet…thueeett…tiyet…tololiyeeettiuut…tulithuewet…”
Ya, begitulah kedua sosok itu menghadapi tahun baru, yang konon waktu itu adalah tahun-tahun berat bagi kehidupan rakyat kecil semacam Panji Koming dan Pailul. Agaknya yang kita hadapi di tahun baru ini pun juga tak jauh berbeda. Masih relevan saja komik itu. Lain kali Dwi Koen melalui Panji Koming mengkritik soal banjir yang terjadi di negeri ini: masing-masing menyelamatkan nyawa, harta, tapi penguasa sibuk menyelamatkan wibawa (20 Januari 1985). Soal “perdamaian” dengan Polantas misalnya satu kali Koming, Pailul dan Mbah berjalan-jalan dengan cikar, rupanya dihentikan oleh petugas kerajaan berpakaian karena melanggar peraturan. Pailul lalu bilang pada Panji Koming, “Seperti biasa Koming, dua ratus kepeng, buat bayar harga perdamaian,” Tapi rupanya petugas minta lima ratus kepeng. Koming lalu menyimpulkan, “Harga-menghargai bisa tergantung seragamya!” (10 Februari 1985). Ya, begitu juga awak rasa sekarang, kalau mau damai dengan polisi juga harus lihat seragamanya, dan lihat kendaraan apa yang dipakainya saat mencegat—menyetop—kita: kalau pakai mobil sedan patroli itu biasanya akan kenal lebih mahal.
Menulis (tepatnya: menggambar) kritak-kritik begini memang bukan hal gampang saat Orde Baru. Dwi Koen sendiri mengaku sering ditelpon—tak dijelaskan oleh siapa—agar ia tahu diri. Menurut Koen, ada 16 topik nasional yang tak boleh disentuh waktu itu. Kalau pun berani—dalam bahasa Dwi Koen: menakalinya—harus mau menerima resiko, bakal diinternir, bahkan bisa jadi babak belur. Gawat! Ya, tapi apa yang tak dilakukan oleh penguasa otoriter yang takut kekuasaannya digugat—bahkan oleh seorang Panji Koming sekali pun.
Bisa disimpulkan kalau Panji Koming adalah pemberontakan Dwi Koen dengan kekuasaan—yang memang selalu cenderung korup. Pemberontakan sebagai seniman melalui karya-karyanya—mengamini Albert Camus. Ia tak mau tunduk dengan kekuasaan yang seringkali mengatur semua apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan. Kalau berani melanggar: AWAS! Tapi Dwi Koen tak gentar. Ia terus menggambar—mengkritik. Dan Panji Koming tetap setia memberontak sampai sekarang: dari Soeharto, Habibi,Gus Dur, … sampai SBY sekarang ini.
Pailul, Koming, dkk teruslah memberontak, jangan mau tunduk dengan kekuasaan yang acapkali mengharamkan kritik!
GM Sudarta
(Sumber : http://WWW.warisanindonesia.com)
Tidak terasa G.M. Sudarta telah 44 tahun menjadi kartunis dengan maskotnya Oom Pasikom atau “Si Kompas”. Dengan kartun gaya Jawa, ia bebas melancarkan kritik sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi sekarang ini.
Wah saya baru bisa jalan kaki pakai kruk, baru hari ini (30 Januari—Red) Saya masih kontrol dokter rutin, meskipun hepatitis C sudah tidak terdeteksi”. Itulah kabar terbaru dari G.M. Sudarta (66 tahun) yang dikirim via layanan pesan singkat (SMS), akhir Januari 2011 dari kediamannya di Klaten, Jawa Tengah.
Banyak orang tidak tahu bahwa kartun-kartun Oom Pasikom beberapa waktu belakangan ini dibuat di tengah perjuangannya melawan penyakit hepatitis C—“oleholeh” saat mengajar kartun di Jepang—dan pascaoperasi tulang kering kaki kirinya gara-gara jatuh di kamar mandi pada bulan Ramadan tahun lalu. Hanya dengan semangat hidupnya yang tinggi dan sikap berserah pada pertolongan Allah SWT, ia mampu melewati masa-masa yang sulit.
Tentang nama G.M. Sudarta itu, semula singkatan dari Gerardus Mayela Sudarta. Namun setelah memutuskan jadi mualaf, namanya berubah menjadi Gafur Muhammad Sudarta. Sehari-hari ia akrab dipanggil Mas Darta. Ada pula yang lebih suka memanggil Mas GM. Kartunis garda depan Indonesia ini lahir di Klaten, Rabu Kliwon, 20 September 1945. Aktif menggambar sejak masa kanak-kanak di zaman Agresi Militer Belanda II atau sering disebut Clash II. Menggambar di tembok, jalan raya, hingga di papan daun pintu buatan ayahnya. Bagi ayahnya, bakat menggambar itu berkat Tuhan. Ketika kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta belum selesai, tepatnya baru tingkat dua (1966), ia ke Jakarta untuk bergabung dengan tim perancang diorama Monumen Nasional (Monas) pimpinan pelukis Haryadi S.(almarhum). Celakanya, pemerintahan Presiden Soekarno jatuh dan pembangunan diorama pun terhenti. Untungnya, ia bisa bergabung dengan Saptoto (almarhum) yang sedang menggarap Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya. Setelah itu, G.M. Sudarta banyak bergaul dengan komunitas seniman di Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia sering pameran lukisan bersama. Waktu itu belum ada niatan jadi kartunis. Dan, untuk menyambung hidup di Jakarta ia menulis cerita pendek, puisi, dan naskah drama radio.
Rabu, 28 Maret 2012
ASAL-USUL KARIKATUR
(Sumber : Wikipedia)
Walaupun gambar satire—seperti gambar hewan yang bertingkah laku seperti manusia—sudah ditemukan setidaknya sejak zaman Mesir Kuno,[6] popularitas seni karikatur berasal dari Italia abad Renaisans.[3] Pada mulanya, karikatur dibuat sebagai lelucon iseng oleh para seniman di studio, seperti Leonardo da Vinci dan Carracci bersaudara—Agostino dan Annibale serta Lodovico sepupu mereka,[7] untuk menghibur dirinya sendiri atau kawan-kawannya dengan menggambar patron ataupun subjek lukisannya secara berlebihan. Carracci bersaudara diyakini sebagai seniman-seniman pertama yang terkenal akan karikatur mereka,[3] dan Annibale diyakini sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ritrattini carichi (potret yang dilebih-lebihkan).[8] Selanjutnya, Pier Leone Ghezzi menekuni seni ini dan membangun kariernya dengan lebih dari 2.000 karya karikatur orang kebanyakan maupun tokoh terkenal. Karikatur-karikatur tersebut tidak dipublikasikan ataupun disebarluaskan, namun menjadi hiburan di kalangan elite. Setelah menyebar di Italia pada abad ke-16, karikatur sebagai langgam visual baru menyebar ke pers popular Eropa lebih dari seabad kemudian.[3]
Abad ke-18 dan Awal Abad ke-19
Karikatur sebagai bentuk seni lukis baru berkembang di Inggris setelah penerbitan sejumlah karya Ghezzi dan seniman Italia lainnya pada tahun 1744. Contoh karikaturis Inggris yang popular pada abad ke-18 adalah James Gillray, Thomas Rowlandson, dan George Cruikshank yang menggabungkan unsur karikatur dengan kartun menjadi kartun satire. Namun demikian, pada tahun 1830-an karya-karya mereka sudah kurang popular di Inggris dan kemudian diekspor ke Prancis dalam mingguan La Caricature dan kemudian harian Le Charivari yang sangat sukses, keduanya dipimpin oleh Charles Philipon.[8]
Dua terbitan Charles Philipon tersebut membuat Prancis menjadi pusat baru perkarikaturan. Sejumlah karikaturis terbaik pada zaman itu dipekerjakan oleh Philipon; Paul Gavarni, J.J. Grandville, dan terutama Honoré Daumier, yang dianggap sebagai seniman paling terampil dalam sejarah karikatur.[8] Baik Philipon maupun Daumier pernah ditahan akibat karikatur mereka di kedua terbitan tersebut yang meng-kritik pemerintahan raja Prancis saat itu, Louis-Philippe. Pada salah satu sidang pengadilannya, Philipon menggambar potret Raja Louis-Philippe yang bermetamorfosis menjadi buah pir dan menyatakan pembelaan bahwa ada banyak hal yang mirip satu sama lain di alam sehingga tidak boleh ada pembatasan atas kreativitas seniman.[9] Daumier sendiri pertama kali diadili karena Gargantua, kartun karyanya yang meng-karikaturkan Louis-Philippe sebagai raksasa yang memakan uang rakyat.[10]
Karikaturisme kemudian menyebar ke media lain, yaitu patung, dimulai dari patung-patung karikatur karya Jean-Pierre Dantan.[2][11] Gaya patung Dantan ini sangat mempengaruhi para seniman karikatur, sehingga mereka pun menciptakan patung-patung kepala penyanyi, penulis, pemusik dunia terkenal dan banyak aktor terkenal dari Comédie-Française. Bentuknya mungil dan menjadi sangat diminati, dipakai sebagai hiasan ujung tongkat, pegangan kayu, topeng, dan alat permainan lainnya.[2]
Akhir Abad ke-19
Pada tahun 1868 di London, Thomas Gibson Bowles mulai menerbitkan Vanity Fair, majalah 'politik, sosial, dan kesusastraan' yang kemudian terkenal karena memuat karikatur berwarna yang menggambarkan politisi, tokoh sastra, raja atau ratu dari luar negeri, ilmuwan, olahragawan, dan tokoh-tokoh terkenal lain.[12][13] Sebagian besar karikatur tersebut digambar oleh Carlo Pellegrini—kartunis Italia yang menggunakan nama samaran "Singe" (bahasa Prancis untuk monyet) dan "Ape" (bahasa Inggris untuk kera) untuk mencerminkan pekerjaannya, yaitu menirukan subjeknya dengan tidak sempurna (to ape, dalam bahasa Inggris)[14]—dan Leslie Ward ("Spy"), walaupun banyak seniman lain juga berkarya untuk majalah tersebut. Setiap karikatur tersebut diberi komentar yang mengolok-olok oleh Bowles dan editor-editor selanjutnya yang menggunakan nama samaran "Jehu Junior". Majalah ini disebut sebagai yang paling banyak dibaca oleh para pejabat dan orang kaya Inggris dibandingkan dengan mingguan lainnya.[13]
Karikatur Vanity Fair tersebut memengaruhi Joseph Keppler, imigran Austria yang menerbitkan majalah Puck di New York, Amerika Serikat. Mulai terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1876 dan kemudian bahasa Inggris setengah tahun kemudian, majalah ini juga memuat karikatur tokoh-tokoh terkenal yang disebut puckograph.[15][16] Kesuksesan Puck mengilhami penerbit lain untuk menirunya, dan segera saja surat kabar-surat kabar dan terbitan tetap lainnya mulai secara rutin memuat karikatur.[17]
Awal abad ke-20
Pada awal dekade ke-2 abad ke-20, Marius de Zayas, seorang karikaturis Meksiko yang hijrah ke New York, mengembangkan gaya seni lukis yang ia sebut karikatur abstrak. Selama berkarya di Meksiko maupun pada tahun-tahun pertamanya di New York, de Zayas menggunakan gaya yang realistik dan representasional.[18] Namun demikian, sewaktu mengunjungi Paris selama hampir setahun penuh dan setelah bertemu Picasso dengan gaya kubismenya, de Zayas mengungkapkan ketidakpuasannya atas metode karikatur tradisional.[19] Sekembalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1911, de Zayas mulai mengeksplorasi gaya barunya yang memadukan bentuk-bentuk geometris datar simetris dan persamaan-persamaan matematika. Dengan gaya karikaturnya itu, de Zayas disebut "menjembatani kesenjangan antara karikatur pesohor populer dalam media komersial dengan keprihatinan dunia seni avant-garde untuk menemukan cara inovatif menggambarkan manusia tanpa kemiripan tersurat".[20]
Seusai Perang Dunia I, popularitas karikatur berkembang secara dramatis di Amerika Serikat seiring dengan perkembangan film, fotografi, dan majalah yang membuat wajah para pesohor dari bintang film sampai atlet dan politisi dengan mudah dikenali oleh umum.[21] Karikatur teatrikal menjadi genre tersendiri dalam seni populer masa tersebut, dimulai oleh Al Frueh yang menerbitkan Stage Folk, kumpulan karikaturnya yang bergaya Art Deco, pada tahun 1922.[22][23] Pada tahun yang sama, Ralph Barton juga terkenal sebagai karikaturis teatrikal setelah menghiasi tirai teater pada salah satu pertunjukan di Broadway dengan 139 karikatur bintang teater, kritikus drama, dan orang-orang ternama dari masyarakat kelas atas New York.[21] Miguel Covarrubias, yang berasal dari Meksiko, menyusul dengan karyanya di berbagai surat kabar dan majalah serta buku kumpulan karikatur pertamanya yang terbit pada tahun 1925, The Prince of Wales and Other Famous Americans. Alex Gard yang berimigrasi dari Rusia juga mengkhususkan diri menggambar tokoh-tokoh teater, terutama lebih dari 700 karyanya yang terpampang di dinding restoran "Sardi's" di New York yang digambar dengan imbalan makan gratis di restoran tersebut sejak tahun 1927 hingga kematiannya tahun 1948.[24] Namun demikian, Al Hirschfeld adalah seniman yang dianggap sebagai tetua semua karikaturis teatrikal.[17]
Karikatur teatrikal Hirschfeld mulai dimuat di sejumlah surat kabar di New York setelah karikatur aktor Prancis Sacha Guitry karyanya, yang semula ia gambar pada salah satu pertunjukan teater Guitry dan membuat seorang wartawan terkesan hingga menyarankan Hirschfeld untuk menjualnya, dimuat di halaman depan surat kabar New York Herald Tribune pada tahun 1926.[21][25] Akan tetapi, gaya khas karikatur kaligrafis linear Hirschfeld baru berkembang dan setelah ia mengunjungi Bali pada tahun 1932 atas undangan Covarrubias.[26][27] Ia mengaku terkesan dengan wayang kulit Jawa dan dipengaruhi oleh gaya seniman ukiyo-e Jepang seperti Harunobu, Utamaro, dan Hokusai,[28] maupun oleh Covarrubias.[17] Sepanjang kariernya, ia membuat karikatur hampir semua tokoh penting teater Amerika Serikat,[25] dan orang yang sudah dibuat karikaturnya oleh Hirschfeld menjadi dianggap tokoh sukses. Karyanya tampil pada hampir semua terbitan ternama selama sembilan dekade, termasuk hampir tujuh puluh lima tahun pada harian The New York Times, serta banyak poster, buku, sampul rekaman, hingga kematiannya pada tahun 2003.[29]
Walaupun gambar satire—seperti gambar hewan yang bertingkah laku seperti manusia—sudah ditemukan setidaknya sejak zaman Mesir Kuno,[6] popularitas seni karikatur berasal dari Italia abad Renaisans.[3] Pada mulanya, karikatur dibuat sebagai lelucon iseng oleh para seniman di studio, seperti Leonardo da Vinci dan Carracci bersaudara—Agostino dan Annibale serta Lodovico sepupu mereka,[7] untuk menghibur dirinya sendiri atau kawan-kawannya dengan menggambar patron ataupun subjek lukisannya secara berlebihan. Carracci bersaudara diyakini sebagai seniman-seniman pertama yang terkenal akan karikatur mereka,[3] dan Annibale diyakini sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ritrattini carichi (potret yang dilebih-lebihkan).[8] Selanjutnya, Pier Leone Ghezzi menekuni seni ini dan membangun kariernya dengan lebih dari 2.000 karya karikatur orang kebanyakan maupun tokoh terkenal. Karikatur-karikatur tersebut tidak dipublikasikan ataupun disebarluaskan, namun menjadi hiburan di kalangan elite. Setelah menyebar di Italia pada abad ke-16, karikatur sebagai langgam visual baru menyebar ke pers popular Eropa lebih dari seabad kemudian.[3]
Abad ke-18 dan Awal Abad ke-19
Karikatur sebagai bentuk seni lukis baru berkembang di Inggris setelah penerbitan sejumlah karya Ghezzi dan seniman Italia lainnya pada tahun 1744. Contoh karikaturis Inggris yang popular pada abad ke-18 adalah James Gillray, Thomas Rowlandson, dan George Cruikshank yang menggabungkan unsur karikatur dengan kartun menjadi kartun satire. Namun demikian, pada tahun 1830-an karya-karya mereka sudah kurang popular di Inggris dan kemudian diekspor ke Prancis dalam mingguan La Caricature dan kemudian harian Le Charivari yang sangat sukses, keduanya dipimpin oleh Charles Philipon.[8]
Dua terbitan Charles Philipon tersebut membuat Prancis menjadi pusat baru perkarikaturan. Sejumlah karikaturis terbaik pada zaman itu dipekerjakan oleh Philipon; Paul Gavarni, J.J. Grandville, dan terutama Honoré Daumier, yang dianggap sebagai seniman paling terampil dalam sejarah karikatur.[8] Baik Philipon maupun Daumier pernah ditahan akibat karikatur mereka di kedua terbitan tersebut yang meng-kritik pemerintahan raja Prancis saat itu, Louis-Philippe. Pada salah satu sidang pengadilannya, Philipon menggambar potret Raja Louis-Philippe yang bermetamorfosis menjadi buah pir dan menyatakan pembelaan bahwa ada banyak hal yang mirip satu sama lain di alam sehingga tidak boleh ada pembatasan atas kreativitas seniman.[9] Daumier sendiri pertama kali diadili karena Gargantua, kartun karyanya yang meng-karikaturkan Louis-Philippe sebagai raksasa yang memakan uang rakyat.[10]
Karikaturisme kemudian menyebar ke media lain, yaitu patung, dimulai dari patung-patung karikatur karya Jean-Pierre Dantan.[2][11] Gaya patung Dantan ini sangat mempengaruhi para seniman karikatur, sehingga mereka pun menciptakan patung-patung kepala penyanyi, penulis, pemusik dunia terkenal dan banyak aktor terkenal dari Comédie-Française. Bentuknya mungil dan menjadi sangat diminati, dipakai sebagai hiasan ujung tongkat, pegangan kayu, topeng, dan alat permainan lainnya.[2]
Akhir Abad ke-19
Pada tahun 1868 di London, Thomas Gibson Bowles mulai menerbitkan Vanity Fair, majalah 'politik, sosial, dan kesusastraan' yang kemudian terkenal karena memuat karikatur berwarna yang menggambarkan politisi, tokoh sastra, raja atau ratu dari luar negeri, ilmuwan, olahragawan, dan tokoh-tokoh terkenal lain.[12][13] Sebagian besar karikatur tersebut digambar oleh Carlo Pellegrini—kartunis Italia yang menggunakan nama samaran "Singe" (bahasa Prancis untuk monyet) dan "Ape" (bahasa Inggris untuk kera) untuk mencerminkan pekerjaannya, yaitu menirukan subjeknya dengan tidak sempurna (to ape, dalam bahasa Inggris)[14]—dan Leslie Ward ("Spy"), walaupun banyak seniman lain juga berkarya untuk majalah tersebut. Setiap karikatur tersebut diberi komentar yang mengolok-olok oleh Bowles dan editor-editor selanjutnya yang menggunakan nama samaran "Jehu Junior". Majalah ini disebut sebagai yang paling banyak dibaca oleh para pejabat dan orang kaya Inggris dibandingkan dengan mingguan lainnya.[13]
Karikatur Vanity Fair tersebut memengaruhi Joseph Keppler, imigran Austria yang menerbitkan majalah Puck di New York, Amerika Serikat. Mulai terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1876 dan kemudian bahasa Inggris setengah tahun kemudian, majalah ini juga memuat karikatur tokoh-tokoh terkenal yang disebut puckograph.[15][16] Kesuksesan Puck mengilhami penerbit lain untuk menirunya, dan segera saja surat kabar-surat kabar dan terbitan tetap lainnya mulai secara rutin memuat karikatur.[17]
Awal abad ke-20
Pada awal dekade ke-2 abad ke-20, Marius de Zayas, seorang karikaturis Meksiko yang hijrah ke New York, mengembangkan gaya seni lukis yang ia sebut karikatur abstrak. Selama berkarya di Meksiko maupun pada tahun-tahun pertamanya di New York, de Zayas menggunakan gaya yang realistik dan representasional.[18] Namun demikian, sewaktu mengunjungi Paris selama hampir setahun penuh dan setelah bertemu Picasso dengan gaya kubismenya, de Zayas mengungkapkan ketidakpuasannya atas metode karikatur tradisional.[19] Sekembalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1911, de Zayas mulai mengeksplorasi gaya barunya yang memadukan bentuk-bentuk geometris datar simetris dan persamaan-persamaan matematika. Dengan gaya karikaturnya itu, de Zayas disebut "menjembatani kesenjangan antara karikatur pesohor populer dalam media komersial dengan keprihatinan dunia seni avant-garde untuk menemukan cara inovatif menggambarkan manusia tanpa kemiripan tersurat".[20]
Seusai Perang Dunia I, popularitas karikatur berkembang secara dramatis di Amerika Serikat seiring dengan perkembangan film, fotografi, dan majalah yang membuat wajah para pesohor dari bintang film sampai atlet dan politisi dengan mudah dikenali oleh umum.[21] Karikatur teatrikal menjadi genre tersendiri dalam seni populer masa tersebut, dimulai oleh Al Frueh yang menerbitkan Stage Folk, kumpulan karikaturnya yang bergaya Art Deco, pada tahun 1922.[22][23] Pada tahun yang sama, Ralph Barton juga terkenal sebagai karikaturis teatrikal setelah menghiasi tirai teater pada salah satu pertunjukan di Broadway dengan 139 karikatur bintang teater, kritikus drama, dan orang-orang ternama dari masyarakat kelas atas New York.[21] Miguel Covarrubias, yang berasal dari Meksiko, menyusul dengan karyanya di berbagai surat kabar dan majalah serta buku kumpulan karikatur pertamanya yang terbit pada tahun 1925, The Prince of Wales and Other Famous Americans. Alex Gard yang berimigrasi dari Rusia juga mengkhususkan diri menggambar tokoh-tokoh teater, terutama lebih dari 700 karyanya yang terpampang di dinding restoran "Sardi's" di New York yang digambar dengan imbalan makan gratis di restoran tersebut sejak tahun 1927 hingga kematiannya tahun 1948.[24] Namun demikian, Al Hirschfeld adalah seniman yang dianggap sebagai tetua semua karikaturis teatrikal.[17]
Karikatur teatrikal Hirschfeld mulai dimuat di sejumlah surat kabar di New York setelah karikatur aktor Prancis Sacha Guitry karyanya, yang semula ia gambar pada salah satu pertunjukan teater Guitry dan membuat seorang wartawan terkesan hingga menyarankan Hirschfeld untuk menjualnya, dimuat di halaman depan surat kabar New York Herald Tribune pada tahun 1926.[21][25] Akan tetapi, gaya khas karikatur kaligrafis linear Hirschfeld baru berkembang dan setelah ia mengunjungi Bali pada tahun 1932 atas undangan Covarrubias.[26][27] Ia mengaku terkesan dengan wayang kulit Jawa dan dipengaruhi oleh gaya seniman ukiyo-e Jepang seperti Harunobu, Utamaro, dan Hokusai,[28] maupun oleh Covarrubias.[17] Sepanjang kariernya, ia membuat karikatur hampir semua tokoh penting teater Amerika Serikat,[25] dan orang yang sudah dibuat karikaturnya oleh Hirschfeld menjadi dianggap tokoh sukses. Karyanya tampil pada hampir semua terbitan ternama selama sembilan dekade, termasuk hampir tujuh puluh lima tahun pada harian The New York Times, serta banyak poster, buku, sampul rekaman, hingga kematiannya pada tahun 2003.[29]
Langganan:
Postingan (Atom)