Sabtu, 31 Maret 2012

Dwi Koen (Panji Koming)


Gambar oleh Yoyok Kartun)
(Sumber : kompasiana.com)

Dwi Koen—kadang Pak DeKa—bernama lengkap Dwi Koendoro Brotoatmodjo lahir 13 Mei 1941 di Banjar (Jawa Barat). Dalam garis darahnya, Dwi Koen masih keturunan RM. Ronggowarsito (1802-1873) yang terkenal dengan syair Zaman Edan yang meramalkan apa yang terjadi di negeri ini di masa mendatang (maksudnya sekarang, dan edan banyak benarnya). Dwi Koen sendiri menganggap leluhurnya itu sosok orang jenius yang gila (komentar saya: kan antara jenius dan gila itu beda tipis, lihat saja gaya rambut Einstein yang tampak edan itu) dan ia bangga sebagai keturunannya.

“Walaupun cuma kebagian gilanya,” tulisnya satu kali.

Dan mungkin tak bercanda Dwi Koen mengakui kegilaannya atawa keedanannya itu. Lihat saja, ketika banyak orang yang ramai-ramai menyembah kekuasaan Orde Baru dengan tokoh sentral Soeharto, Dwi Koen—dan segelintir orang lain—termasuk yang mengkritiknya. Tak bisa dengan frontal—yang kadang memang akan dilawan dengan kekuatan-kekuatan bersenjata—Dwi Koen mengkritik dengan kartun—yang memang menjadi keahliannya. Dan Panji Koming, sosok—sebagai digambarkan Tempo—lugu, polos, tapi cerdik adalah sarana Dwi Koen menyampaikan kritikan-kritikannya.

Panji Koming dalam catatan wikipedia.org pertama kali diperkenalkan di Kompas Minggu 14 Oktober 1979. Panji Koming konon menyingkat nama “KOMpas MINGgu”, tapi pun begitu koming juga berarti “bingung” atau bahkan “gila”—mungkin pengejewantahan sosok Dwi Koen yang memang mengaku gila itu, sebagai keturunan RM. Ronggowarsito. Setting komik ini adalah masa Maja Pahit. Namun apa yang terjadi di negeri itu—dalam gambaran komik ini—tak lain apa-apa yang terjadi sekarang di Indonesia—pada saat komik itu digambar.

Sosok-sosok lain yang hadir dalam kartun Panji Koming adalah Pailul, sahabat Panji Koming yang konyol tapi (kadang) cerdas, Dyah Gembili (pacar Pailul), Nini Wor Ciblon (pacar Panji Koming)—apa mereka belum menikah dari dulu?—dan Mbah, sosok orang tua bijaksana.

Satu kali misalnya (saya menggunakan bahan dari buku Panji Koming kumpulan 85-85) dalam komik tertanggal 6 Januari 1985, Panji Koming berbicang-bincang dengan Pailul, karib Koming, yang sedang asyik meniup terompet tahun baru.

“Kita memasuki tahun sulit lho, Pailul!”

Pailul tak bereaksi. Panji Koming melanjutkan obrolannya.

“Tahun yang …”

“Pret…pret..pret…!” Pailul meniup terompet.

“Tahun yang berat dan prihatin!” kata Panji Koming sambil menutup telinga—bising dengan terompet Pailul.

“Thett…thuweettt….!” Pailul terus meniup.

“Jangan masa bodo!” hardik Panji Koming—tampak tak senang.

“Siapa bilang aku masa bodo! … Sulit, berat, prihatin kan sudah apalan… tiap tahun kita rasakan!”

“Tapi kayaknya tahun ini bakal LEBIH BERAT!”

“Bagus! Berarti ada peningkatan” jawab Pailul dengan muka culun, dilanjutkan dengan tiupan terompetnya, “Theet…thueeett…tiyet…tololiyeeettiuut…tulithuewet…”

Ya, begitulah kedua sosok itu menghadapi tahun baru, yang konon waktu itu adalah tahun-tahun berat bagi kehidupan rakyat kecil semacam Panji Koming dan Pailul. Agaknya yang kita hadapi di tahun baru ini pun juga tak jauh berbeda. Masih relevan saja komik itu. Lain kali Dwi Koen melalui Panji Koming mengkritik soal banjir yang terjadi di negeri ini: masing-masing menyelamatkan nyawa, harta, tapi penguasa sibuk menyelamatkan wibawa (20 Januari 1985). Soal “perdamaian” dengan Polantas misalnya satu kali Koming, Pailul dan Mbah berjalan-jalan dengan cikar, rupanya dihentikan oleh petugas kerajaan berpakaian karena melanggar peraturan. Pailul lalu bilang pada Panji Koming, “Seperti biasa Koming, dua ratus kepeng, buat bayar harga perdamaian,” Tapi rupanya petugas minta lima ratus kepeng. Koming lalu menyimpulkan, “Harga-menghargai bisa tergantung seragamya!” (10 Februari 1985). Ya, begitu juga awak rasa sekarang, kalau mau damai dengan polisi juga harus lihat seragamanya, dan lihat kendaraan apa yang dipakainya saat mencegat—menyetop—kita: kalau pakai mobil sedan patroli itu biasanya akan kenal lebih mahal.

Menulis (tepatnya: menggambar) kritak-kritik begini memang bukan hal gampang saat Orde Baru. Dwi Koen sendiri mengaku sering ditelpon—tak dijelaskan oleh siapa—agar ia tahu diri. Menurut Koen, ada 16 topik nasional yang tak boleh disentuh waktu itu. Kalau pun berani—dalam bahasa Dwi Koen: menakalinya—harus mau menerima resiko, bakal diinternir, bahkan bisa jadi babak belur. Gawat! Ya, tapi apa yang tak dilakukan oleh penguasa otoriter yang takut kekuasaannya digugat—bahkan oleh seorang Panji Koming sekali pun.

Bisa disimpulkan kalau Panji Koming adalah pemberontakan Dwi Koen dengan kekuasaan—yang memang selalu cenderung korup. Pemberontakan sebagai seniman melalui karya-karyanya—mengamini Albert Camus. Ia tak mau tunduk dengan kekuasaan yang seringkali mengatur semua apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan. Kalau berani melanggar: AWAS! Tapi Dwi Koen tak gentar. Ia terus menggambar—mengkritik. Dan Panji Koming tetap setia memberontak sampai sekarang: dari Soeharto, Habibi,Gus Dur, … sampai SBY sekarang ini.

Pailul, Koming, dkk teruslah memberontak, jangan mau tunduk dengan kekuasaan yang acapkali mengharamkan kritik!

GM Sudarta


(Sumber : http://WWW.warisanindonesia.com)


Tidak terasa G.M. Sudarta telah 44 tahun menjadi kartunis dengan maskotnya Oom Pasikom atau “Si Kompas”. Dengan kartun gaya Jawa, ia bebas melancarkan kritik sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi sekarang ini.

Wah saya baru bisa jalan kaki pakai kruk, baru hari ini (30 Januari—Red) Saya masih kontrol dokter rutin, meskipun hepatitis C sudah tidak terdeteksi”. Itulah kabar terbaru dari G.M. Sudarta (66 tahun) yang dikirim via layanan pesan singkat (SMS), akhir Januari 2011 dari kediamannya di Klaten, Jawa Tengah.

Banyak orang tidak tahu bahwa kartun-kartun Oom Pasikom beberapa waktu belakangan ini dibuat di tengah perjuangannya melawan penyakit hepatitis C—“oleholeh” saat mengajar kartun di Jepang—dan pascaoperasi tulang kering kaki kirinya gara-gara jatuh di kamar mandi pada bulan Ramadan tahun lalu. Hanya dengan semangat hidupnya yang tinggi dan sikap berserah pada pertolongan Allah SWT, ia mampu melewati masa-masa yang sulit.

Tentang nama G.M. Sudarta itu, semula singkatan dari Gerardus Mayela Sudarta. Namun setelah memutuskan jadi mualaf, namanya berubah menjadi Gafur Muhammad Sudarta. Sehari-hari ia akrab dipanggil Mas Darta. Ada pula yang lebih suka memanggil Mas GM. Kartunis garda depan Indonesia ini lahir di Klaten, Rabu Kliwon, 20 September 1945. Aktif menggambar sejak masa kanak-kanak di zaman Agresi Militer Belanda II atau sering disebut Clash II. Menggambar di tembok, jalan raya, hingga di papan daun pintu buatan ayahnya. Bagi ayahnya, bakat menggambar itu berkat Tuhan. Ketika kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta belum selesai, tepatnya baru tingkat dua (1966), ia ke Jakarta untuk bergabung dengan tim perancang diorama Monumen Nasional (Monas) pimpinan pelukis Haryadi S.(almarhum). Celakanya, pemerintahan Presiden Soekarno jatuh dan pembangunan diorama pun terhenti. Untungnya, ia bisa bergabung dengan Saptoto (almarhum) yang sedang menggarap Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya. Setelah itu, G.M. Sudarta banyak bergaul dengan komunitas seniman di Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia sering pameran lukisan bersama. Waktu itu belum ada niatan jadi kartunis. Dan, untuk menyambung hidup di Jakarta ia menulis cerita pendek, puisi, dan naskah drama radio.

Rabu, 28 Maret 2012

ASAL-USUL KARIKATUR

(Sumber : Wikipedia)
Walaupun gambar satire—seperti gambar hewan yang bertingkah laku seperti manusia—sudah ditemukan setidaknya sejak zaman Mesir Kuno,[6] popularitas seni karikatur berasal dari Italia abad Renaisans.[3] Pada mulanya, karikatur dibuat sebagai lelucon iseng oleh para seniman di studio, seperti Leonardo da Vinci dan Carracci bersaudara—Agostino dan Annibale serta Lodovico sepupu mereka,[7] untuk menghibur dirinya sendiri atau kawan-kawannya dengan menggambar patron ataupun subjek lukisannya secara berlebihan. Carracci bersaudara diyakini sebagai seniman-seniman pertama yang terkenal akan karikatur mereka,[3] dan Annibale diyakini sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ritrattini carichi (potret yang dilebih-lebihkan).[8] Selanjutnya, Pier Leone Ghezzi menekuni seni ini dan membangun kariernya dengan lebih dari 2.000 karya karikatur orang kebanyakan maupun tokoh terkenal. Karikatur-karikatur tersebut tidak dipublikasikan ataupun disebarluaskan, namun menjadi hiburan di kalangan elite. Setelah menyebar di Italia pada abad ke-16, karikatur sebagai langgam visual baru menyebar ke pers popular Eropa lebih dari seabad kemudian.[3]

Abad ke-18 dan Awal Abad ke-19
Karikatur sebagai bentuk seni lukis baru berkembang di Inggris setelah penerbitan sejumlah karya Ghezzi dan seniman Italia lainnya pada tahun 1744. Contoh karikaturis Inggris yang popular pada abad ke-18 adalah James Gillray, Thomas Rowlandson, dan George Cruikshank yang menggabungkan unsur karikatur dengan kartun menjadi kartun satire. Namun demikian, pada tahun 1830-an karya-karya mereka sudah kurang popular di Inggris dan kemudian diekspor ke Prancis dalam mingguan La Caricature dan kemudian harian Le Charivari yang sangat sukses, keduanya dipimpin oleh Charles Philipon.[8]
Dua terbitan Charles Philipon tersebut membuat Prancis menjadi pusat baru perkarikaturan. Sejumlah karikaturis terbaik pada zaman itu dipekerjakan oleh Philipon; Paul Gavarni, J.J. Grandville, dan terutama Honoré Daumier, yang dianggap sebagai seniman paling terampil dalam sejarah karikatur.[8] Baik Philipon maupun Daumier pernah ditahan akibat karikatur mereka di kedua terbitan tersebut yang meng-kritik pemerintahan raja Prancis saat itu, Louis-Philippe. Pada salah satu sidang pengadilannya, Philipon menggambar potret Raja Louis-Philippe yang bermetamorfosis menjadi buah pir dan menyatakan pembelaan bahwa ada banyak hal yang mirip satu sama lain di alam sehingga tidak boleh ada pembatasan atas kreativitas seniman.[9] Daumier sendiri pertama kali diadili karena Gargantua, kartun karyanya yang meng-karikaturkan Louis-Philippe sebagai raksasa yang memakan uang rakyat.[10]
Karikaturisme kemudian menyebar ke media lain, yaitu patung, dimulai dari patung-patung karikatur karya Jean-Pierre Dantan.[2][11] Gaya patung Dantan ini sangat mempengaruhi para seniman karikatur, sehingga mereka pun menciptakan patung-patung kepala penyanyi, penulis, pemusik dunia terkenal dan banyak aktor terkenal dari Comédie-Française. Bentuknya mungil dan menjadi sangat diminati, dipakai sebagai hiasan ujung tongkat, pegangan kayu, topeng, dan alat permainan lainnya.[2]

Akhir Abad ke-19
Pada tahun 1868 di London, Thomas Gibson Bowles mulai menerbitkan Vanity Fair, majalah 'politik, sosial, dan kesusastraan' yang kemudian terkenal karena memuat karikatur berwarna yang menggambarkan politisi, tokoh sastra, raja atau ratu dari luar negeri, ilmuwan, olahragawan, dan tokoh-tokoh terkenal lain.[12][13] Sebagian besar karikatur tersebut digambar oleh Carlo Pellegrini—kartunis Italia yang menggunakan nama samaran "Singe" (bahasa Prancis untuk monyet) dan "Ape" (bahasa Inggris untuk kera) untuk mencerminkan pekerjaannya, yaitu menirukan subjeknya dengan tidak sempurna (to ape, dalam bahasa Inggris)[14]—dan Leslie Ward ("Spy"), walaupun banyak seniman lain juga berkarya untuk majalah tersebut. Setiap karikatur tersebut diberi komentar yang mengolok-olok oleh Bowles dan editor-editor selanjutnya yang menggunakan nama samaran "Jehu Junior". Majalah ini disebut sebagai yang paling banyak dibaca oleh para pejabat dan orang kaya Inggris dibandingkan dengan mingguan lainnya.[13]
Karikatur Vanity Fair tersebut memengaruhi Joseph Keppler, imigran Austria yang menerbitkan majalah Puck di New York, Amerika Serikat. Mulai terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1876 dan kemudian bahasa Inggris setengah tahun kemudian, majalah ini juga memuat karikatur tokoh-tokoh terkenal yang disebut puckograph.[15][16] Kesuksesan Puck mengilhami penerbit lain untuk menirunya, dan segera saja surat kabar-surat kabar dan terbitan tetap lainnya mulai secara rutin memuat karikatur.[17]

Awal abad ke-20
Pada awal dekade ke-2 abad ke-20, Marius de Zayas, seorang karikaturis Meksiko yang hijrah ke New York, mengembangkan gaya seni lukis yang ia sebut karikatur abstrak. Selama berkarya di Meksiko maupun pada tahun-tahun pertamanya di New York, de Zayas menggunakan gaya yang realistik dan representasional.[18] Namun demikian, sewaktu mengunjungi Paris selama hampir setahun penuh dan setelah bertemu Picasso dengan gaya kubismenya, de Zayas mengungkapkan ketidakpuasannya atas metode karikatur tradisional.[19] Sekembalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1911, de Zayas mulai mengeksplorasi gaya barunya yang memadukan bentuk-bentuk geometris datar simetris dan persamaan-persamaan matematika. Dengan gaya karikaturnya itu, de Zayas disebut "menjembatani kesenjangan antara karikatur pesohor populer dalam media komersial dengan keprihatinan dunia seni avant-garde untuk menemukan cara inovatif menggambarkan manusia tanpa kemiripan tersurat".[20]
Seusai Perang Dunia I, popularitas karikatur berkembang secara dramatis di Amerika Serikat seiring dengan perkembangan film, fotografi, dan majalah yang membuat wajah para pesohor dari bintang film sampai atlet dan politisi dengan mudah dikenali oleh umum.[21] Karikatur teatrikal menjadi genre tersendiri dalam seni populer masa tersebut, dimulai oleh Al Frueh yang menerbitkan Stage Folk, kumpulan karikaturnya yang bergaya Art Deco, pada tahun 1922.[22][23] Pada tahun yang sama, Ralph Barton juga terkenal sebagai karikaturis teatrikal setelah menghiasi tirai teater pada salah satu pertunjukan di Broadway dengan 139 karikatur bintang teater, kritikus drama, dan orang-orang ternama dari masyarakat kelas atas New York.[21] Miguel Covarrubias, yang berasal dari Meksiko, menyusul dengan karyanya di berbagai surat kabar dan majalah serta buku kumpulan karikatur pertamanya yang terbit pada tahun 1925, The Prince of Wales and Other Famous Americans. Alex Gard yang berimigrasi dari Rusia juga mengkhususkan diri menggambar tokoh-tokoh teater, terutama lebih dari 700 karyanya yang terpampang di dinding restoran "Sardi's" di New York yang digambar dengan imbalan makan gratis di restoran tersebut sejak tahun 1927 hingga kematiannya tahun 1948.[24] Namun demikian, Al Hirschfeld adalah seniman yang dianggap sebagai tetua semua karikaturis teatrikal.[17]
Karikatur teatrikal Hirschfeld mulai dimuat di sejumlah surat kabar di New York setelah karikatur aktor Prancis Sacha Guitry karyanya, yang semula ia gambar pada salah satu pertunjukan teater Guitry dan membuat seorang wartawan terkesan hingga menyarankan Hirschfeld untuk menjualnya, dimuat di halaman depan surat kabar New York Herald Tribune pada tahun 1926.[21][25] Akan tetapi, gaya khas karikatur kaligrafis linear Hirschfeld baru berkembang dan setelah ia mengunjungi Bali pada tahun 1932 atas undangan Covarrubias.[26][27] Ia mengaku terkesan dengan wayang kulit Jawa dan dipengaruhi oleh gaya seniman ukiyo-e Jepang seperti Harunobu, Utamaro, dan Hokusai,[28] maupun oleh Covarrubias.[17] Sepanjang kariernya, ia membuat karikatur hampir semua tokoh penting teater Amerika Serikat,[25] dan orang yang sudah dibuat karikaturnya oleh Hirschfeld menjadi dianggap tokoh sukses. Karyanya tampil pada hampir semua terbitan ternama selama sembilan dekade, termasuk hampir tujuh puluh lima tahun pada harian The New York Times, serta banyak poster, buku, sampul rekaman, hingga kematiannya pada tahun 2003.[29]